Cerita Sejarah Lasem (2-Habis)

04/ Pelengkap Sejarah Akhir Majapahit

Berdasarkan pemerian Carita Lasem, dapat diketahui secara rinci penyebab jatuhnya kota Majapahit dari penguasa Bhre Kertabhumi. Majapahit runtuh didahului dengan keadaan yang kacau, tidak ada kekuasaan yang memadai, rendahnya wibawa para pejabat, dan tidak tegaknya hukum, sehingga terjadi kemerosotan kehidupan dan timbulnya kejahatan di mana-mana. Keadaan buruk itu diperparah oleh banjir yang kerapkali terjadi akibat meluapnya air dari Sungai Berantas.

Meluasnya agama Islam secara cepat di kalangan masyarakat Majapahit dan Jawa bagian timur masa itu terjadi akibat kemauan masyarakatnya sendiri yang memerlukan agama Islam. Beberapa alasan menurut CSL telah dikemukakan di bagian terdahulu, dan di bagian lain CSL dinyatakan bahwa penduduk berbondong-bondong masuk pesantren-pesantren demi alasan keamanan dan kesejahteraan kehidupan mereka. Oleh karena itu perkembangan pesantren begitu pesat, jumlahnya bertambah banyak menggantikan peran wanaśrama-mandala, kadewaguruan, atau juga karsyan. Pendidikan di pesantren tetap melanjutkan tata cara pendidikan sisya di mandala atau kadewaguruan. Di lingkungan pendidikan yang terletak jauh dari keramaian di lereng gunung berhutan lebat itu tinggal seorang guru, mahapandita, atau siddhaguru, dewaguru yang tinggi ilmunya, dibantu oleh para abdinya terdiri dari ubwan (para ajar pendeta perempuan), manguyu para abdi dewaguru yang merupakan pendeta laki-laki, dan dalam jumlah banyak para kaki (murid lelaki) dan para endang (murid perempuan) yang merupakan para pendeta muda, mereka sedang belajar memperdalam ilmu agama, karena jumlah penghuninya cukup banyak, maka mandala/kadewaguruan tersebut membentuk suatu pedukuhan di lereng gunung (Santiko 1990: 163). Tentu saja yang diajarkan adalah perihal agama Hindu atau Buddha, atau juga hakekat persatuan Hindu-Buddha. Dalam lingkungan pesantren juga sama, kyai sepuh yang tinggi ilmu agama Islamnya tinggal bersama dengan para pembantunya yang mendidik sejumlah santri. Masalah sumber pangan agaknya juga melanjutkan tradisi mandala, yaitu para santri menanam sendiri sejumlah tanaman pangan yang dapat dimanfaatkan oleh penghuni pesantren secara bersama. Oleh karena itu banyak penduduk Majapahit terutama kalangan mudanya yang tertarik memasuki pesantren demi pendidikan dan kehidupannya yang lebih baik dan aman, sementara itu kehidupan di luar pesantren sangat mengkhawatirkan dengan segala kekacauan Majapahit yang tidak dapat diatasi oleh kekuasaan kerajaan.

Keadaan Majapahit yang kalang kabut agaknya harus segera diakhiri, wibawa kerajaan harus segera dipulihkan kembali, dan raja lama Bhre Kertabhumi harus segera disingkirkan, mungkin demikian yang ada dalam pikiran Dyah Ranawijaya. Ia lalu mengerahkan tentara Kadiri untuk menyerang kota Majapahit, dan jatuhlah kerajaan yang telah didirikan oleh Krtarajasa Jayawarddhana atau Raden Wijaya ke tangan orang-orang Kadiri.

Mengenai tokoh Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya cukup menarik untuk diperbincangkan, para sarjana Belanda antara lain N.J.Krom (1923, 1931), W.F.Stutterheim (1932, 1952), dan B.J.O.Schirieke (1957) dalam penelitian terdahulu menyatakan bahwa Dyah Ranawijaya adalah anggota dinasti baru Girindrawarddhana yang muncul di akhir Majapahit. Akan tetapi pendapat para ahli Belanda tersebut dibantah oleh Hasan Djafar yang menyatakan bahwa di akhir Majapahit tidak ada dinasti baru Girindrawarddhana, nama Girindrawarddhana yang dipakai oleh raja-raja Majapahit akhir sebenarnya menyatakan bahwa mereka adalah penerus dinasti Girindra (Girindrawangsa) atau dengan sebutan lain Rajaśawangsa. Dengan demikian raja-raja yang memakai gelar Girindrawarddhana pada namanya itu sebenarnya anggota Rajaśawangsa pula, keturunan Ken Angrok (Djafar 1978: 85). CSL memang tidak menjelaskan jatidiri dari Girindrawarddhana dari Kadiri, akan tetapi terdapat hal menarik perihal agama yang dianut oleh tokoh tersebut. Dinyatakan bahwa Girindrawarddhana menganut agama Tantrayana. Mengenai agama tersebut jelas berbeda dengan agama yang dianut oleh Bhre Kertabhumi, raja Majapahit tersebut agaknya menganut agama Hindu-śaiwa. Tantrayana adalah salah satu sekte dalam Hinduisme yang bertujuan bersatu dengan dewata pada waktu manusia tersebut masih hidup. Dalam agama Buddha juga dikenal sekte Tantrayana Mantrayana dalam ajaran Buddha Mahayana. Sekte Tantrayana baik Hindu ataupun Buddha mengarcakan ikon-ikon dewa mereka dalam wujud yang menyeramkan (krodha atau ugra).

Akan halnya Girindrawarddhana, dari julukannya itu dapat diketahui dia pemeluk Tantrayana Hindu, sebab Girindra atau giri + indra artinya "raja gunung" yang juga sama dengan Siwa sebagai raja gunung, penguasa gunung. Girindrawarddhana berarti penerus atau "keturunan raja gunung", atau keturunan Siwa. Sangat mungkin tokoh tersebut mempunyai ambisi untuk memperluas pengaruh Tantrayana kepada penduduk Majapahit dengan menyerang Majapahit dan menurunkan Bhre Kertabhumi dari tahtanya. Menurut CSL yang terjadi adalah penduduk Majapahit tetap tidak mau menganut Tantrayana, justru mereka berpencar meninggalkan kota mengungsi ke berbagai arah, ada yang ke pegunungan Anjasmoro, Welirang, dan Penanggungan, ke Bromo, menyeberang ke Bali dan dan banyak juga yang segera memasuki agama Islam karena mereka berlindung di pesantren-pesantren di wilayah pantai utara Jawa bagian timur. Serangan Girindrawarddhana tersebut sejatinya menjadi salah satu sebab makin banyaknya penduduk Majapahit yang beralih agama memeluk agama Islam.

Majapahit sebagai kota besar masih terus bertahan setelah direbut oleh Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya, dia sendiri agaknya memindahkan kedudukannya yang semula di Kadiri lalu menjadi penguasa Majapahit dengan julukan Paduka Śrî Mahāraja Śrî Wilwatikta-Daha-Janggala-Kadiri. Jatuhnya Majapahit oleh Girindrawarddhana yang diperingati oleh Serat Kanda dengan ungkapan "Sirna ilang kertaning bhumi" sebenarnya tidak hanya disebabkan oleh alasan politik, perebutan kekuasaan melainkan juga ada alasan lain, yaitu penyebaran pengaruh agama Tantrayana di Majapahit. Upaya Girindrawarddhana untuk memperluas pengaruh Tantrayana di Majapahit justru gagal, karena banyak penduduknya yang bubar tidak lagi mau menetap di dalam kota itu.


/05/ Epilog

Kitab Carita (Sejarah) Lasem sebagai hasil historiografi daerah ternyata penting untuk diperhatikan. Kitab tersebut tidak hanya menguraikan tentang peranan daerah Lasem di masa silam, masa Majapahit; namun juga mengutarakan adanya perspektif lain tentang jatuhnya Majapahit pada tahun 1400 Śaka ke tangan penguasa Kadiri. Dalam CSL dijelaskan bahwa jatuhnya Majapahit karena kekacauan internal yang sangat luar biasa di Majapahit sendiri. Para pejabat saling memfitnah, dan iri hati terhadap yang lain (CSL 1985: 50). Mereka juga berlomba-lomba memperkaya diri, tidak memperhatikan tugas-tugas yang harus dikerjakan, akibatnya rakyat kecil mengalami penderitaan luar biasa, susah sandang dan pangan.

Agama Islam berkembang tanpa paksaan, rakyat Majapahit menerima agama tersebut secara sukarela karena berbagai alasan logis jika dibandingkan dengan agama sebelumnya, Hindu, Buddha, atau Hindu-Tantrayana yang cukup rumit dalam ritualnya. Perkembangan Islam dipercepat juga dengan sistem pendidikan pesantren, rakyat jelata banyak yang memasuki pesantren dan menjadi santri karena alasan keamanan dan juga kesejahteraan hidup.

Dalam CSL disebutkan juga tokoh Dang Hyang Asthapaka, tokoh tersebut dikenal sebagai pendeta Buddha yang berasal dari Campa dan bermukin di Taman Banjar Mlathi, Lasem. Ia meramalkan bahwa pada suatu ketika mengalami kekacauan yang luar biasa dan timbul pemberontakan yang menghancurkan kota Majapahit (CSL 1985: 52). Tokoh Dang Hyang Asthapaka dikenal juga di Bali sebagai pendeta Buddha yang berasal dari Majapahit. Bersama dengan Dang Hyang Nirartha, Dang Hyang Asthapaka dipandang sebagai tokoh pembaharu kehidupan keagamaan di Bali, keduanya hidup dalam zaman pemerintahan Raja Waturenggong (1460—1558 M). Dalam Babad Dalem diberitakan bahwa Dang Hyang Nirartha mendarat di Bali di Desa Kapurancak tahun 1489 M (Rai Putra 1995: 34), pada waktu itu Majapahit telah berada di bawah pemerintahan Dyah Ranawijaya.

Dyah Ranawijaya Adipati Kadiri yang menyerang kota Majapahit ternyata beragama Tantrayana, sekte Hindu yang melakukan ritus dengan cukup menyeramkan. Rakyat Majapahit juga tidak menyukai agama tersebut, mereka menghindari Dyah Ranawijaya yang kemudian menduduki kota Majapahit. Alasan Dyah Ranawijaya untuk merebut Majapahit ternyata tidak semata-mata perebutan kekuasaan antara sesama anggota dinasti Girindrawangsa atau Rajasawangsa keturunan Ken Angrok, akan tetapi juga bermotifkan upaya menyebarkan Tantrayana di wilayah Majapahit.

Perilaku Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya sebagai penguasa daerah yang mengadakan pemberontakan dan menyerang kedaton tempat persemayaman Sri Maharaja, sangat mirip dengan perilaku Jayakatwang penguasa Gelang-gelang yang memberontak, menyerang, dan menewaskan raja Singhasari terakhir, Krtanagara dalam tahun 1292 M. Kedua tokoh pemberontak tersebut berjaya dalam usahanya, namun Jayakatwang tidak lama menjadi raja di tanah Jawa, ia berhasil dikalahkan oleh gabungan tentara Tartar dan para pengikut Raden Wijaya. Akan hanya Dyah Ranawijaya berhasil menjadi Sri Maharaja selama beberapa puluh tahun kemudian, hingga Majapahit benar-benar runtuh antara tahun 1518—1525 M.

Pada akhirnya mungkin juga masih banyak karya historiografi daerah lainnya seperti CSL yang berupa naskah, namun hingga sekarang masih belum ditelaah lebih lanjut. Di masa mendatang kajian terhadap kitab-kitab yang menguraikan tentang sejarah daerah agaknya perlu dicermati, sebab di dalamnya bisa saja mengandung data sejarah yang cukup penting untuk pelurusan, perbaikan, atau bersifat melengkapi uraian sejarah yang telah dikenal.


DAFTAR PUSTAKA

Djafar, Hasan, 1978, Girīndrawarddhana: Beberapa Masalah Majapahit Akhir. Jakarta: Yayasan Dana Pendidikan Buddhis Nalanda.

Hardjowardojo, Pitono, 1965, Pararaton. Djakarta: Bhratara.

Kamzah, R.Panji, 1985. Carita (Sejarah) Lasem Gubahanipun R.Panji Kamzah ing Tahun Masehi 1858 (taun Jawi 1787) Katurun/Kajiplak dening R.Panji Karsono ing taun Masehi 1920 (taun Jawi 1857). Semarang: Pambabar Pustaka.

Pigeaud, G.Th.Pigeaud, 1960, Java in The 14th Century A Study in Cultural History: The Nāgara-Kěrtagama By Rakawi Prapañca of Majapahit, 1365 A.D. Volume I: Javanese Texts in Transcription. The Hague: Martinus Nijhoff.

Rai Putra, I.B., 1995.Babad Dalem. Denpasar: Upada Sastra.

Saksono,Widji, 1995, Mengislamkan Tanah Jawa: Telaah atas Metode Dakwah Wali Songo. Bandung: Mizan.

Santiko, Hariani, 1990. "Kehidupan Beragama Golongan Rsi di Jawa", dalam Edi Sedyawati dkk.(Penyunting), Monumen: Karya Persembahan Untuk Prof.Dr.R.Soekmono. Lembaran Sastra Seri Penerbitan Ilmiah No.11 Edisi Khusus. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Halaman 156—171.
Previous
Next Post »